Home » , » Cinta Tak Kenal A, B, dan C

Cinta Tak Kenal A, B, dan C

Written By Maulana Robby on Senin, 23 Mei 2016 | 12.50.00


Pekerjaan peneliti itu cari-cari masalah, tetapi juga sesekali harus berani menyadari bahwa sebenarnya tidak ada masalah dengan yang ditelitinya. Itu adalah kalimat keyakinan yang dipegang Sarwono, seorang pria yang berprofesi sebagai Dosen Antropologi yang tidak jarang melakukan penelitian.

Sejak lulus SMA, Sarwono memutuskan melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Jakarta dari kota asalnya, Solo. Di Ibu Kota, ia menghidupi kebutuhannya sendiri, tidak ingin membuat repot keluarganya di kampung halaman. Penghasilan dapat dia raih dari upahnya sebagai penulis artikel dan puisi yang ia setor ke media-media cetak.

Kehidupan dosen muda ini tidak hanya bertahan untuk terus hidup dengan asupan jasmani tetapi juga soal rohani, yaitu asmara. Ia menjalin cinta dengan seorang gadis yang sama-sama berprofesi sebagai pengajar di tingkat perguruan tinggi, Pinkan namanya. Pinkan merupakan  adik dari teman semasa SMA-nya dulu, Toar Palenkahu. Perempuan yang memang sudah ditaksirnya sejak ia berseram putih abu-abu.

Menjalin rajutan kasih dengan Putri Palenkahu bukan tanpa halangan. Apalagi terdapat perbedaan suku dan agama dalam diri mereka. Sarwono pria yang berasal dari Solo, merupakan pria muslim taat. Sedangkan Pinkan, gadis perawakan blasteran, Ibu Jawa dan Bapak Menado,  seorang kristiani teguh. Hal ini menjadi warna sendiri dalam percintaan kedua dosen ini.      

Perbedaan itu dikhawatirkan mereka berdua menjadi tembok tebal yang tak bisa dirobohkan. Kecemasan muncul ketika meminta persetujuan orang tua mereka. Namun, pada kenyataanya ke dua orang tua mereka tak mempermaslahkan hal itu, malah menyerahkan semua ke diri mereka masing-masing.

Masalah justru datang dari kerabat Pinkan, mereka kerap kali menyudutkan Pinkan dengan berbagai pertanyaan tentang hubungannya dengan Sarwono, Barry salah satu kerabatnya pernah bertanya, apa Pinkan rela berkerudung? Tidak hanya itu, mereka mengharapkan Pinkan dipinang laki-laki yang mengajar di perguruan tinggi di Menado, laki-laki yang pernah kuliah di Jepang. Tetapi dengan guncangan dan harapan saudaranya itu, Pinkan tetap teguh tak tergoyahkan, tetap Sarwono sang Matindas. Matindas yang menururt legenda Menado adalah sosok pria pujaan kaum hawa. Ya, cinta tak mengenal a, b, dan c.

Tantangan hubungan tak hanya sampai di situ. Pinkan yang ditugaskan Kaprodinya ke Jepang untuk melanjutkan studi sekaligus mengajar di sana membuat hubungan ini semakin rumit. Bagaimana tidak, di Jepang sana ada si sontoloyo, Katsuo. Katsuo pria nihontulen yang dulu kuliah di Ibu Pertiwi, sekarang menjadi dosen di Jepang. Pria yang membuat Sarwono cemas, karena ketika di Indonesia ia sengat dekat dengan Pinkan.

Selama di tinggal sementara oleh Pinkan ke negeri Matahari Terbit, Sarwono mengalami konflik batin hebat. Kata-kata Pinkan seolah-olah selalu terdengar di telinganya.  Ia berusaha meyakinkan dirinya kalau Pinkan tetap setia padanya. Berusaha percaya si Katsuo tak macam-macam dengan gadis Menadonya.

Pikiran macam-macamnya itu memperburuk kesehatannya yang memang sudah mengidap penyakit paru-paru basah, dirawatah Sarwono di rumah sakit. Pinkan yang mendengar hal itu tanpa pikir panjang langsung kembali ke Indonesia menuju rumah sakit yang merawat Sarwono. Ketika sampai Pinkan tak dibolehkan masuk ke ruang perawatan. Ia hanya menunggu dan membaca puisi dari Sarwono yang dititipkan Sarwono ke ibunya.

Cerita ini mengisahkan dua orang muda-mudi cerdas, pintar, juga berprestasi. Cerita yang memberikan gambaran bahwa prestasi dan keahlian mentereng juga tidak mudah dalam merajut asmara. Si pria Sarwono yang pandai menulis artikel dan puisi, yang karyanya dapat menghasilkan uang, dosen muda Antropogi Universitas Indonesia (UI) yang kerap kali melakukan penelitian. Sedangkan Pinkan, perempuan muda yang sedari ia menjadi mahasiswa berprestasi karena sering dipilih menjadi mahasiswi kehormatan yang diberi mandat tertentu. Gadis yang sekarang berprofesi jua di UI sebagai dosen sasta Jepang yang saat ini mendapat mandat sementara ke Jepang dari kampus untuk melanjutkan studi dan mengajar di sana.

Sayangnya di novel ini terkadang dibeberapa kalimatnya tidak menerapkan faedah tanda baca. Jika diperhatikan, hal ini sengaja dilakukan Sapardi Djoko Damono dalam tulisannya. Kalimat yang sangat panjang tanpa tanda baca. Hal ini akan menjadi asik untuk sesorang yang biasa membaca novel khususnya yang nyentrik seperti ini. Tetapi bagi yang belum terbiasa akan sedikit membingungkan membaca kalimat-kalimat tertentu.

Perlu diketahui, buku Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono sebelum menjadi novel mempunyai perjalanan yang panjang. Awalnya dari puisi, menjadi lagu, kemudian komik, dan nanti film, kini beralih menjadi novel.

Judul               : Hujan Bulan Juni
Penulis            : Sapardi Djoko Damomo
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit     : Juni 2015
ISBN               : 978-602-03-1843-1
Tebal               : 135 Halaman

(Aldiansyah Nurrahman)
Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. Catatan Jurnalistik - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Tum hi ho lyrics | How to get rid of hiccups

Proudly powered by Blogger