Bagi musisi Solomon Northup, menjadi seorang budak bukanlah pilihan. Berawal dari tawaran dua orang pencari bakat, Solomon diminta untuk memainkan biola dalam pertunjukan sirkus di Washington. Diiming-imingi upah satu dolar perhari, Solomon pun menerima tawaran tersebut, dan pergi ke Washington.
Sial bagi Solomon. Sesampainya di Washington, bukan pundi uang atau tepuk tangan penonton sirkus yang didapat. Ia justru dikurung dalam sebuah ruangan gelap mirip penjara dengan kaki dan tangan yang dirantai. “Aku orang merdeka. Kau tak punya hak menangkapku,” kata Solomon kepada dua orang penjaga ruangan.
Kisah perbudakan dimulai dengan tawar-menawar seorang tuan tanah dengan pedagang manusia. Solomon pun dijual bak sebuah barang. Nama Solomon diganti menjadi Platt untuk menyembunyikan identitas aslinya. Solomon sempat beberapa kali berganti tuan. Terakhir kepemilikan atas diri Solomon milik seorang tuan tanah bernama Edwin Epps. Sang tuan yang dikenal sebagai “Penghancur Negro” ini sangat kejam. Setiap kesalahan yang dilakukan para budak, mereka harus membayarnya dengan pukulan dan dicambuk hingga terluka.
Film berjudul 12 Years a Slave ini mengisahkan praktik perbudakan yang terjadi pada abad ke-19 di Amerika Serikat. Diangkat dari kisah nyata Solomon Northup yang diperankan oleh Chiwetel Ejiofor, adalah seorang budak yang berusaha mendapatkan kembali kemerdekaannya.
Judul 12 Years a Slave diambil dari buku yang ditulis sendiri oleh Solomon Northup dengan judul yang sama. Buku ini ditulis setelah ia bebas dari perbudakan selama duabelas tahun. Plot yang disusun dengan efisien menyajikan Unsur kemanusiaan dari awal hingga akhir film berdurasi 134 menit.
Penggambaran kisah perbudakan yang menyentuh rasa kemanusiaan, telah membawa film garapan sutradara Steven McQueen memenangkan piala oscar tahun 2014 kategori film terbaik. Untuk sebuah karya, film ini sangat layak dijadikan pembelajaran, bahwa praktik perbudakan sangat tidak dibenarkan. (KR) JL
Posting Komentar