Peraturan daerah (perda) bernuansa agama sejatinya dibuat untuk mengelola, meningkatkan layanan masyarakat, memperbaiki kondisi sosial, dan menegaskan peran pemerintah membangun ketaatan publik. Namun bagaimana jadinya jika perda bernuansa agama didomplengi motif ekonomi dan politik? regulasi serta pemberlakuan perda tersebut ternyata berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari.
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam penelitiannya menemukan adanya motif ekonomi dan Politik di balik perda bernuansa agama. Motif tersebut merupakan hasil riset di delapan kabupaten/kota, yaitu Serang, Pandeglang, dan Kota Tangerang (Banten), Jakarta Pusat dan Jakarta Timur (DKI Jakarta), Kota Bandung, Sukabumi, dan Tasikmalaya (Jawa Barat).
Peneliti PPIM, Ali Munhanif mengatakan meski berbagai perda bernuansa agama memiliki niat baik, tanpa disadari ada sejumlah aktor yang sengaja memasukan usulan bermotif ekonomi ke dalam perda tersebut.
“Ada beberapa peraturan yang mengatakan bahwa pemerintah daerah harus mempunyai komitmen atau perhatian kepada institusi pendidikan Islam. Peraturan itu kemudian menjadi dasar diwajibkannya peserta didik memiliki ijazah madrasah diniyah, takmiliyah dan semacamnya untuk dapat melanjutkan sekolah,” ungkapnya saat diwawancara Journo Liberta, Selasa (10/11/2015).
Di Kabupaten Sukabumi terbit Perda Nomor 30 Tahun 2009 tentang Wajib Belajar Pendidikan Keagamaan Islam. Terkait perda tersebut, PPIM menemukan adanya kepentingan sejumlah tokoh elit agama dan Organisasi Masyarakat Islam. “Mereka yang cenderung mendukung regulasi tersebut adalah kelompok berkepentingan. Jadi dengan adanya perda itu, pemda memberikan dukungan dana dan fasilitas untuk bantuan pendirian sekolah berbasis agama, baik pesantren atau madrasah,” terang Ali.
Ali berpendapat, perda wajib belajar pendidikan keagamaan Islam menjadi bermasalah ketika ada kelompok yang menolak, kemudian tidak mendapat bantuan dana. “Masyarakat juga senang dengan perda itu, hanya saja pemda harus adil dalam memberikan bantuan dana. Tidak boleh berdasarkan kepentingan elektorat massa pendukungnya semata,” ujar Ali.
Doktor lulusan McGill University itu kemudian mencontohkan, ada seorang kiai di Kabupaten Sukabumi secara tegas menolak perda wajib belajar pendidikan keagamaan Islam. Menurut sang Kiai, kata Ali, perda tersebut hanya membuat hubungan pesantren dengan pemda terkesan untuk mendapat bantuan semata. “Dari situ terlihat jelas, bagaimana perda tentang kewajiban memiliki ijazah diniah dan takmiliah begitu kentara dengan motif ekonominya,” ucap Ali.
Setelah menelisik lebih dalam, Ali dan tim peneliti PPIM menemukan fakta dari sejumlah responden, bahwa pemda tidak memiliki cukup dana untuk memberikan bantuan kepada semua lembaga pendidikan Islam. “Di sana masalahnya. Perda yang tidak didesain dengan baik akan membebani pemda itu sendiri. Itu keliru. Mestinya kepala daerah menyadari hal tersebut,” katanya.
Kasus lain, lanjut Ali, Pemerintah Kota Tasikmalaya mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No.450 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Ahmadiyah. SK itu muncul menyusul surat edaran Instruksi Gubernur (Insgub) No. 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Ahmadiyah di Jawa Barat. Ali menjelaskan, dengan Sk tersebut, selain aktivitas ibadah, Aset Jamaat Ahmadiyah seperti tempat ibadah, tanah, dan sekolah pun tak luput jadi incaran. “Begitu aset-aset dibekukan, sejumlah orang berusaha mengusik harta itu untuk dipakai kelompok mereka. Itu kan problem ekonomi lagi,” ungkapnya.
Mengenai motif politik, Ali berpendapat sejumlah aktor politik di daerah tidak memiliki imajinasi menjalankan roda ekonomi masyarakat. Namun demi menjaring suara massa, mereka kerap memolitisasi perda di daerah. Regulasi yang dibuat seringkali dijadikan senjata potensial untuk menekan kelompok minoritas yang dianggap menyimpang.
“karena proses politik begitu panas, banyak aktor politik seperti calon kepala daerah menggunakan cara paling murah mendapatkan dukungan, yaitu dengan menggunakan pola yang memakai kartu agama,” kata Ali.
Kepentingan politis dari sejumlah aktor di daerah, ungkap Ali, melatarbelakangi lahirnya perda yang tidak terlalu dibutuhkan masyarakat. Di Pandeglang, Banten contohnya, diberlakukan Perda No. 13 Tahun 2010 tentang Santunan Kematian.“Adat istiadat, tradisi, dan budaya yang baik seperti santunan kematian dan pendidikan agama sudah bisa berjalan dengan sendirinya tanpa memerlukan perda. kenapa masih harus diformalkan? dari situ terlihat ada desakan dari aktor atau kelompok tertentu,” ujar dosen Fakultas Ushuludin itu.
Ali menambahkan, biaya pembuatan perda yang mencapai ratusan juta seharusnya digunakan untuk menghasilkan perda yang lebih produktif. Misalnya, legislasi mengenai ketertiban kota seperti membenahi Pedagang Kaki Lima (PKL) dan membenahi infrastuktur kota. “Dengan kurangnya imajinasi kepala daerah atau calon kepala daerah dalam tata pengelolaan kota, maka yang akan dihasilkan hanyalah perda yang kurang produktif tapi berbiaya tinggi,” jelasnya.
Menanggapi hasil temuan PPIM, mantan Menteri Negara Otonomi Daerah era Presiden Abdurrahman Wahid, Ryaas Rasyid mengatakan penelitian PPIM di Tiga Provinsi belum bisa menjawab persoalan perda bernuansa agama. Ia menyarankan agar PPIM juga melakukan riset di wilayah yang mayoritas non muslim seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi Utara, dan sebagainya.
“Hal itu perlu dilakukan supaya kita mendapat perspektif yang lebih luas, sejuah mana identitas keagamaan masuk ke dalam regulasi otonomi daerah. Pada perinsipnya, urusan keagamaan bukanlah menjadi kewenangan otonomi daerah kecuali di Aceh,” tutur Rasyid saat menghadiri seminar tentang perda bernuansa agama yang digelar PPIM, di Auditorium Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta, Rabu, (21/10/2015).
Meski demikian, Rasyid menuturkan masalah yang sering muncul dari perda bermotif Identitas, sebagaimana temuan PPIM, akibat lemahnya pengawasan pemerintah pusat. Cara penanganan sejumlah kasus yang berkaitan dengan pemda pun dinilai Rasyid kurang profesional. “Otonomi daerah itu kan kebijakan pemerintah pusat. Perintah undang-undang, kebijakan nasional harus dikawal oleh pemerintah pusat. Jadi perlu disupervisi, dimonitor, diawasi, dan dikoreksi. Tapi kemampuan pemerintah dalam melakukan hal itu sangat lemah,” katanya. (Bisri)
Posting Komentar