Konsistensi Indonesia dalam menjaga kebinekaan kembali diuji. Pasalnya, akhir-akhir ini terjadi konflik berbau agama yang bisa mengancam persatuan.
Adanya peraturan daerah yang membatasi kebebasan beragama jelas berseberangan dengan prinsip kebinekaan. Seperti yang diutarakan Alamsyah M Djafar, Peneliti WAHID Institute. Ia berpendapat, kebebasan berkeyakinan sudah dijamin negara. Jadi, menurutnya Jika ada peraturan melarang suatu kelompok untuk beribadah, secara tidak langsung telah menodai kebinekaan bangsa.
Alam menyebutkan hak beragama telah diatur melalui UUD 1945 Pasal 28 (A-J) tentang hak asasi manusia. UUD tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara berhak menjalankan hak dan kebebasannya dalam beragama.
“Negara Indonesia telah final dengan pancasila sebagai dasar negara. Tetapi yang menyuarakan pelarangan lebih keras daripada orang-orang yang ingin menjaga kebinekaan. Kita melihat peraturan ini bersiifat politis, walaupun ada aspirasi di tingkat akar rumput yang telah tergabung di dalamnya,” tutur Alam saat ditemui Journo Liberta, Kamis (5/11).
WAHID Institute memandang fenomena perda diskriminatif timbul karena adanya peningkatan nilai religius dalam masyarakat yang masuk ke ruang politik. Agama dipandang sebagai visi hidup untuk merespon realitas sosial. Selain itu, faktor historis juga menjadi penyebab terbitnya kebijakan-kebijakan diskriminatif.
“Perda bernuansa agama lahir pasca Orde Baru (Orba) jatuh. Akibatnya situasi politik lebih terbuka dari sebelumnya. Ini yang melahirkan aspirasi keagamaan yang dulu tidak bisa muncul ke permukaan,” jelas Alam.
Sementara itu, Ahmad Mujaddid Rais, Direktur Riset MAARIF Institute menilai, perda bernuansa agama sarat unsur politik dan tidak murni mencerminkan nilai-nilai keagamaan. Bahkan menjadi kontradiktif dengan ajaran Islam itu sendiri. Untuk itu, Ia mengimbau agar masyarakat lebih berhati-hati menyikapi perda tersebut.
“kita melihat perda syariah hanya kepentingan kelompok politik. Contohnya para ulama deal dengan calon bupati dengan syarat mendorong perda syariah, tanpa disiapkan naskah akademiknya dan argumentasi aksiologis,” tutur mahasiwa program magister di Melbourne University, Australia.
Menariknya, Rais menjelaskan, berbagai riset menunjukan bahwa perda-perda ini bukan diusulkan oleh partai Islam, melainkan oleh partai sekuler. “Kita sebut saja PDIP dan Golkar. Persoalan ini pernah diteliti Michael Buhler dan Robin Bush,” ujarnya.
Pemerintah pusat berperan dalam mengantisipasi perda bernuansa agama yang berpotensi membuat situasi tidak kondusif, seperti timbulnya tensi panas antarumat beragama. Rais berpendapat, konten di dalam perda seharusnya kembali pada semangat keagamaan yang memajukan kehidupan masyarakat, bukan pemicu konflik.
“Perda bernuansa keagamaan sejatinya menjadi semangat beragama yang mendorong kesejahteraan, bangkitnya peradaban, ilmu pengetahuan, mempermudah akses-akses kesehatan, dan pekerjaan yang layak, serta mendorong orang untuk saling menghormati dan tidak bersikap diskriminatif,” papar Rais.
Ia juga berharap pemerintah pusat segera merevisi perda agama yang bersifat diskriminatif. Pemerintahan daerah juga harus mengikuti tahapan perundangan yang ditentukan. “Perda yang diterbitkan pemerintah daerah harus merujuk kepada UUD Negara Indonesia yang melarang diskriminasi terhadap sesama warga negara. Intinya, pemerintah pusat perlu merevisi dan me-review perda diskriminasi,” katanya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo sendiri telah menegaskan pemerintah daerah untuk teliti dalam menerbitkan perda bernuansa agama. Menurut Tjahjo tidak ada wilayah di Indonesia yang menganut satu agama khusus, jadi pemerintah daerah harus memahami kemajemukan.
“Indonesia bukanlah negara agama. Makanya, kepala daerah perlu berhati-hati dalam menerbitkan perda yang ada keterkaitannya dengan persoalan keyakinan masyarakat. Paham kalau daerahnya majemuk. Sebab, tidak ada wilayah yang menganut satu agama khusus. Pasti ada beberapa persen memiliki kepercayaan berbeda,” jelas Mendagri melalui siaran pers, Jumat (13/11). (Fakhrizal Haq/Denny)
Posting Komentar