Kenapa surga diciptakan?
Sebagai manusia yang masih hidup, seharusnya kita mengetahui alasan surga diciptakan. Karena surga adalah tujuan akhir dan tempat dimana manusia akan menjalani kehidupan setelah kematian secara abadi. Di surga pula kita akan bertemu para leluhur.
Allu Ralla seorang anak Toraja yang baru saja kehilangan ambenya –atau biasa disebut ayah- dan rambu solo –upacara adat kematian masyarakat Toraja- harus digelar. Sebagai keluarga bangsawan, tentu rambu solo haruslah digelar secara besar-besaran dengan mempersembahkan puluhan kerbau dan ratusan babi. Sedangkan untuk merealisasikannya, tentu bukan perkara mudah. Terlebih bagi Allu Ralla yang sekarang menjadi kepala di keluarga kecilnya.
Sementara di dalam rahim pohon tarra, Maria Ralla pun memiliki kisah. Adik Allu yang meninggal ketika bayi ini tidak semata-mata ‘beristirahat dengan tenang’. Dia memiliki kehidupan lain dan diam-diam memerhatikan keluarganya yang sudah dia tinggal sejak lama. Bahkan ketika di dalam tubuh indo -Ibu (rahim pohon tarra)- sempat terjadi kekacauan, Maria Ralla ikut ambil andil.
Ambe mereka berdua, Rante Ralla, masih menggantung nasibnya. Orang-orang masih percaya dia sakit sampai digelarnya rambu solo, yang akan membawanya menuju nirwana. Padahal tubuhnya sudah tidak bernyawa. Sukmanya tidak tenang. Apalagi tanpa sepengetahuannya para leluhur sedang ramai-ramai menggosipkan dirinya dari atas sana.
Martabat keluarga Ralla harus dijunjung tinggi. Kematian Rante Ralla harus dirayakan besar-besaran. Karena jika tidak, aib keluarga akan ditanggung sehidup semati oleh keluarga yang masih tersisa.
Lolos sebagai pemenang keempat Sayembara Menulis Novel DKJ 2014 dan menjadi novel terbaik 2015 versi majalah Tempo, Puya ke Puya adalah satu buku andalan Faisal Oddang saat ini. Penulis yang masih berusia awal 20-an ini pun pernah menjadi penulis terbaik Kompas 2014 dan diundang ke Salihara International Literary Biennalle 2015. Di usianya yang masih sangat muda, Faisal telah melahirkan karya-karya yang luar biasa dalam bentuk puisi, novel, atau cerpen seperti contohnya Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon.
Novel ini mengisahkan adat Toraja yang sangat kental. Sebuah bentuk sentilan secara halus terhadap tradisi yang membuat manusia melakukan kejahatan di bawah tangan. Bisa dibayangkan ketika manusia, dalam hal ini Allu Ralla harus melakukan tindakan tidak pantas demi melangsungkan rambu solo untuk ambenya. Untung dia tidak sampai harus seperti Mr. Berth, orang asing yang akan meluluhlantakkan tanah warisan keluarga Ralla dan memiliki disorientasi ketertarikan terhadap lawan jenis.
Menarik ketika meneilisik beberapa fragmen kehidupan di buku ini. Mulai dari kehidupan di dunia, fase kematian, fase perjalanan menuju puya (surga), dan fase alam baka. Faisal mendeskripsikannya seolah-olah memang seperti itulah yang akan dialami manusia setelah meninggal. Di sisi lain Faisal juga menyentuh berbagai macam persoalan yang kemungkinan besar memang terjadi ketika adat dijadikan landasan hidup. Bukankah kita diminta untuk menjaga kelestarian adat? Adat seperti apakah yang benar-benar dimaksud di sini? Pertanyaan ini kemudian muncul dalam benak setelah menutup cover belakang Puya ke Puya.
Meskipun dalam beberapa hal, Faisal ‘seperti’ mengisahkan kasus yang sama – suasana dan kisah cinta di passiliran (kuburan bayi di pohon tarra) – seperti dalam cerpen Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon, itu tetap tidak mengurangi esensi keunikan dari cara dia bertutur di Puya ke Puya. Maka Puya ke Puya pantas direkomendasikan bagi pembaca penikmat sastra Indonesia abad ini. Tentu saja ini menyangkut substansi terhadap suatu pertanyaan tentang, kenapa surga diciptakan?
Judul : Puya ke Puya
Penulis : Faisal Oddang
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Ke-1
Tahun Cetak : 2015
Total Halaman : 218
ISBN : 978-979-91-0950-7
*Laras Sekar Seruni
Mahasiswi Jurusa Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Posting Komentar