Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Indonesia akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak pada 9 Desember 2015. Tercatat sebanyak 224 kabupaten, 36 kota, dan 9 provinsi meramaikan pesta demokrasi tersebut. Tak kurang dari 852 pasang calon kepala daerah siap bertarung merebutkan tampuk kekuasaan tertinggi di daerah masing- masing.
Berbagai strategi politik pun digunakan untuk mendulang suara, termasuk menggunakan sentimen Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) sebagai modal politik.
Berkaca pada pilpres 2014 lalu, politisasi SARA berpotensi terulang kembali pada pilkada serentak nanti. Menurut data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dari 66 laporan dugaan pelanggaran pilpres 2014, terdapat 12 dugaan pelanggaran yang berbau SARA.
Menurut Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil, politisasi SARA bukan merupakan bentuk politik yang tidak dewasa. Aktivitas politik tersebut tidak sesuai dengan tujuan penyelenggaraan pilkada. “Maka tidak pantas untuk dilakukan,” kata Fadli saat ditemui Journo Liberta di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (10/11/2015).
Semestinya, lanjut Fadli, politisasi SARA sudah ditinggalkan karena Indonesia negara plural yang menganut paham kebinekaan. “Kita harus menerima keberagaman ini di tengah kita. Tidak relevan jika kampanye pilkada masih dilakukan dengan menggunakan sentimen agama,” ujarnya.
Politisasi SARA biasanya dilakukan pada masa kampanye. Padahal, peserta pilkada dilarang menggunakan praktik tersebut. “Semua pasangan calon harusnya sudah mengetahui tata cara berkampanye. Persoalannya, bagaimana proses penegakan hukum jika hal itu terjadi,” katanya.
Jika dilihat dari instrumen dan ketentuan hukum yang berlaku, politisasi SARA termasuk pelanggaran tindak pidana pemilu. Perkara itu diatur dalam Pasal 69 (b) Undang-Undang No. 8 tahun 2015 tentang pilkada. “Siapa yang melakukan politisasi SARA termasuk dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu. Ini yang harus disampaikan kepada peserta pilkada bahwa ketentuan hukumnya sudah ada,” jelas Fadli.
Jika demikian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara pilkada harus melakukan pengawasan yang melekat. “Artinya, mereka terus memantau, apabila terjadi pelanggaran maka wajib diproses,” terang Fadli.
Fadli mengatakan penegakan hukum pemilu dapat melalui mekanisme di Bawaslu. “Mereka (Bawaslu) menemukan sendiri atau menerima laporan dari masyarakat,” ujar Fadli. Selanjutnya, Bawaslu menyaring dan memverifikasi laporan - laporan tersebut.
Menurut pandangan Pengamat Politik Gun Gun Heryanto, sentimen SARA akan menjadi isu yang seksi untuk dijadikan senjata politik. “SARA memiliki kemampuan mengikat. Dengan kata lain, SARA akan mudah ditumpangi oleh free rider (penunggang bebas) untuk kepentingan pragmatis semata,” katanya.
Unsur SARA memang tidak bisa dipisahkan dari politik. Namun, Gun Gun menegaskan hal itu tak perlu berlebihan.
Penggunaan politisasi SARA, lanjut Gun Gun, sebenarnya tidak terlalu berpengaruh pada pemilihan. Dampaknya hanya meningkatkan elektabilitas sekitar dua persen, namun dampak sosial yang ditimbulkan bisa menimbulkan gesekan. “Jadi percayalah kalau orang menggunakan isu SARA tidak akan menang karena sumbangsihnya kecil,” ungkapnya.
Gun Gun menambahkan, mekanisme sirkulasi elit itu harus menghormati SARA sebagai bagian keniscayaan dalam demokrasi pluraslisme. “Marwahnya pun harus dijaga dengan cara meghormati. Intinya, kampanye yang melibatkan SARA tentu berbahaya” kata Gun Gun. (Fathra/Rheza)
Posting Komentar