70 tahun ternyata belum cukup bagi Indonesia untuk menjadi negara yang matang secara kultural. Persoalan subkultur, etnisitas, adat-istiadat, agama, hingga kesenjangan sosial-ekonomi masih dapat memicu kerentanan konflik. Di antara hal itu, yang paling rentan memicu konflik di Indonesia adalah agama.
Di sisi lain, Indonesia punya semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang berarti meski berbeda tapi punya tujuan yang sama. Semua elemen bangsa Indonesia tentu berkewajiban menjaga Bhineka Tunggal Ika, termasuk umat Islam. Gagasan mengenai Bhineka Tunggal Ika ini coba dirumuskan oleh 16 tokoh muslim Indonesia melalui ‘Fikih Kebhinekaan’.
Fikih sendiri berarti pemahaman yang mendalam dan diasosiasikan terhadap Syariat Islam. Sementara kebinekaan berarti keberagaman. Ketika ‘fikih’ disandingkan dengan ‘kebhinekaan’ yang dijadikan judul buku ini, maknanya ialah pandangan keanekaragaman atau rumusan sikap kaum muslim dalam menghadapi perbedaan.
Fikih keberagaman bertujuan untuk memberikan panduan filosofis, teoritis-metodologis, dan praksis di kalangan umat Islam Indonesia. Selain itu, Fikih keberagaman mendorong hubungan sosial yang harmonis, menghilangkan diskriminasi, memperkuat demokratisasi, dan memberikan landasan normatif-religius dalam memenuhi hak-hak warga masyarakat secara berkeadilan.
Buku ini mengangkat empat bagian penting guna meneropong masalah keadilan, kemanusiaan, kebinekaan, dan toleransi. Bagian pertama mengungkap landasan filosofi fikih mengenai makna dasar pemahaman fikih hingga epistimologi Islam kontemporer sebagai basis fikih. Kemudian tiga bagian lainnya yang mendukung yakni, fikih kenegaraan, fikih kemsyarakatan dan kemanusiaan serta fikih kepemimpinan masyarakat dalam masyarakat majemuk.
Empat hal tersebutlah, menurut para penulis dapat menggerakan pemikir Islam yang bernaung pada paradigma roduksionis menuju paradigma eksplanasi Al Quran. Dimana Al Quran tidaklah memiliki makna yang saklek.
Solusi ditawarkan dalam buku ini ialah untuk membuka mata lebar bahwa kehidupan masyarakat semakin modern dihadapkan realitas baru dan realitas-realitas instrumental. Kemudian, masyarakat akan menggeser diri dari nilai-nilai sublime pada kebegaraman pandangan. Jadi, pemikiran terbuka dituntut untuk menghadapi kondisi seperti ini.
Buku Fikih Kebhinekaan dapat dirasakan kental dengan kata-kata khas cendikiawan muslim. Hal ini dapat menambah wawasan bagi pembaca terutama yang menyukai studi keislaman. Namun, sebagian dari kata khas yang terdapat dalam buku tidak memberi penjelasan sehingga membuat pembaca harus mencari kata tersebut di buku lain. (Romaida)
Posting Komentar